Pada jaman
dahulu kala, di sebuah rumah hiduplah seorang pemuda dan ibunya.
Kemudian pemuda itu menikah, istrinya adalah seorang yang sangat giat bekerja,
dari pagi sampai malam bekerja tiada henti. Di samping itu, sang istri juga
ramah, sehingga pemuda dan ibunya merasa bahagia sekali mendapatkan istri dan
menantu yang begitu baik.
Tetapi, setelah 10 hari, 20 hari berlalu, menantu perempuannya itu terlihat,
tidak sehat, wajahnya pucat dan makin kurus.
Ibu yang cemas bertanya pada menantunya, “Apakah kamu tidak enak badan? Katakan
saja, jangan malu-malu.”
Kemudian menantu pun berkata, “Tidak, saya tidak apa-apa. Tidak ada yang sakit,
hanya saja…” katanya dengan gelisah.
“Sebenarnya, saya hanya ingin kentut saja.” Menurut menantu, sejak menikah ia
berpikir tidak boleh kentut, dan berusaha ditahannya sampai sekarang.
“Oh, ternyata soal itu. Kalau kentut, kan semua orang melakukannya. Tidak ada gunanya
menahan kentut sampai badan menjadi tidak sehat begini.”
“Tapi, kentut saya lain.”
“Tidak apa-apa. Lebih baik cepatlah kentut.”
“Kalau begitu, maaf ya…” kata menantu, segera menggulung lipatan bajunya ke
atas, kemudian terkentut. Kentut yang sangat menggelegar. TUUT.
Bunyinya seperti meriam menggelegar, dan hembusan anginnya sangat kencang,
sehingga sang ibu diterbangkan anginnya sampai ke ladAng kubis di seberang
rumah.
Saat itu anaknya pulang ke rumah.
“Ibu, apa yang engkau lakukan di situ?”
Ditanya begitu, ibu pun marah-marah pada anaknya. ”Menantu seperti itu harus
pergi dari rumah ini.” Berkata begitu, ibu memutuskan untuk memulangkan menantu
ke rumah orang tuanya.
Menantu mengemasi barang-barangnya, kemudian sang anak laki-laki
mengantarkan sampai ke desa, bersama mereka berangkat dari rumah.
Di tengah perjalanan ada sebuah jembatan yang terbuat dari pohon besar. Tiga
orang pedagang yang sedang berkelana melintasi jembatan itu, mereka sedang
melempar dengan batu bermaksud untuk mengambil buah pir, tapi tidak berhasil.
Melihat hal itu, menantu berkata.
“Benar-benar mereka orang yang tidak berguna. Saya akan memperlihatkan bahwa
dengan terkentut bisa mengambil buah itu.”
Ketiga pedagang mendengar perkataan menantu, “Perempuan ini telah mengolok
kami.” Katanya marah.
“Jika kalian bilang ambil, dan saya bisa mengambilnya dengan terkentut saja,
lalu bagaimana?”
“Baiklah. Jika kamu bisa mengambil buah pir dengan terkentut, maka akan kami
beri kain dagangan kami ini beserta kuda-kudanya.” Ketiga pedagang itu berujar.
Menantu gembira, dan menyingsingkan lengan bajunya, “Kalau begitu, maaf ya,” ia
mulai terkentut.
TU…TU…TUU…TUUUTTT.
Dan buah pir pun berjatuhan.
Tung…tung…tung…
Sedangkan pedagang kain itu semuanya diterbangkan ke atas pohon pir, “Tolong
!!”
Teriak mereka berusaha bertahan di atas pohon. Begitu
menantu menghentikan kentutnya, pedagang-pedagang itu turun dari pohon dengan
wajah pucat pasi.
Sesuai perjanjian maka menantu mendapatkan 3 ekor kuda dengan semua
kain-kainnya.
“Menantu yang berguna seperti ini semestinya ada di rumah.”, berkata demikian
anak laki-laki pun membawa menantu pulang kembali ke rumahnya.
Kemudian didirikanlah sebuah ruangan di dalam rumah yang diberi nama heya,
(ditulis へ屋, へ artinya kentut dan 屋 artinya ruangan), tempat di mana
menantu melepaskan kentutnya saat ingin terkentut.
Apakah ini adalah asal kata 部屋 (ruangan) dalam bahasa Jepang ?
Entahlah apa benar begitu.
*** Pesan Moral ***
Suatu kekurangan bisa jadi adalah
sebuah kelebihan
No comments:
Post a Comment